Standar Usia Membatalkan Wudhu
...
Sebagaimana diketahui, dalam literatur kitab-kitab fikih di antara hal yang dapat membatalkan pada wudhu adalah bersentuhan kulit beda jenis; lak-laki dan perempuan. Di antara syarat kebatalan ini adalah keduanya sudah menginjak usia dewasa yang bagi perempuan dapat menarik perhatian syahwat (haddan yusytaha). Akan tetapi, modernisasi demikian pesat dengan pola makanan dan tontonan yang demikian aneh, sehingga terkadang membuat anak terlihat dewasa sebelum waktunya. Lantas, berapa standar usia yang dapat membatalkan pada wudhu saat bersentuhan kulit?
Dalam madzhab Syafi’i, bersentuhan kulit lain jenis Ajnabi dapat membatalkan pada wudhu’. Kulit dimaksud adalah bagian luar, termasuk kulit pada lidah dan gusi. Ajnabi berarti orang lain, tidak masuk dalam lingkaran mahram yang diharamkan untuk menikah. Kategori Ajnabi, berarti di antara hal yang menghalalkan untuk menikah. Dalam wudhu’, bersentuhan kulit dua orang Ajnabi beda jenis berarti membatalkan wudhu’.
Syarat kebatalan pada wudhu’ ini tidak hanya keduanya harus Ajnabi, melainkan keduanya harus yakin sudah besar (Ma’a kibarin yaqinan). Tidak dihukumi batal, bersentuhan kulit beda jenis ini jika salah satu atau sama-sama dari keduanya masih kecil yang memang tidak memiliki pesona syahwat (shaghirah la tusytaha). Alasannya, karena anak kecil tidak berpotensi mengundang syahwat. Tentu saja, alasan ini mengikuti ukuran orang yang memiliki pikiran normal.
Standar tidak mengundang syahwat ini tidak hanya berlaku pada anak perempuan, meskipun secara umum banyak disebutkan dengan shighat muannats (tusytaha). Sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuja’ (1:83), anak laki-laki standartnya juga demikian. Berikut disampaikan Syekh Muhammad asy-Syarbini al-Khathib:
والمراد بالرجل الذكر إذا بلغ حدا يشتهى لا البالغ وبالمرأة الأنثى إذا بلغت حدا يشتهى كذلك لا البالغة
“Yang dimaksud laki-laki (yang membatalkan) adalah ketika sampai pada batas berpotensi menarik syahwat, bukan baligh. Sementara yang dimaksud pada perempuan adalah ketika mencapai batas potensi syahwat juga, bukan pada balighnya.”
Kemudian, pada usia berapa seseorang terbilang besar dan berpotensi mengundang syahwat tersebut. Dalam pendapat shahih, potensi mengundang syahwat ini tidak ditentukan dengan usia, melainkan melalui standar urf (pandangan masyarakat umum). Jika urf memandang saat itu dewasa dan berpotensi mengundang syahwat sudah dapat membatalkan wudhu’. Tentu saja, pendapat masyarakat umum ini bagi mereka yang memiliki kecenderungan normal (dzawi ath-thiba’ as-salimah). Untuk hal ini, disebutkan dalam kitab al-Manhaj al-Qawim: 61:
"وينتقض اللامس والملموس" أي وضوؤهما لاشتراكهما في لذة اللمس "ولا ينقض صغير أو صغيرة" إن كان كل منهما بحيث "لا يشتهي" عرفًا غالبًا لذوي الطباع السليمة، فلا يتقيد بابن سبع سنين أو أكثر لاختلافه باختلاف الصغار والصغيرات
“Wudhu penyentuh dan yang disentuh batal wudhu’nya karena sama-sama merasakan kenikmatan bersentuhan. Tidak batal wudhu anak kecil, jika keduanya tidak sampai pada batasan mensyahwati secara urf bagi yang memiliki kecenderungan normal. (Soal potensi ini) tidak dibatasi pada anak laki-laki usia tujuh tahun atau lebih, karena perbedaan pada anak tergantung pada besar dan tidaknya anak.”
Pendapat berbeda dari pandangan umum tersebut adalah ulama yang membatasi potensi syahwat dengan melihat usia. Pendangan mereka pun berbeda-beda dalam menentukan usia berapa anak berpotensi menarik syahwat tersebut. Imam Abu Hamid al-Ghazali, misalnya, mengatakan bahwa maksud dari perempuan yang tidak berpotensi menarik syahwat itu adalah anak usia empat tahun kebawah.
Sementara itu, Syaikh Yusuf as-Sanbalani menyebut bahwa ketika anak usia tujuh tahun sudah dapat membatalkan pada wudhu saat bersentuhan kulit. Menurutnya, ini adalah kesepakatan ulama (ittifaq), baik anak laki-laki atau pun perempuan. Termasuk juga ulama sepakat, anak usia lima tahun tidak membatalkan pada wudhu’.
Bagaimana dengan usia anak enam tahun? Juga menurut as-Sanbalani, terjadi khilaf ulama; ada yang mengatakan batal, dan ada pula yang menyatakan tidak. Akan tetapi, soal ini ternyata tetap melihat pada pandangan umum manusia. Anak usia lima tahun pun, bisa membatalkan pada wudhu’ ketika sudah dilihat bisa menarik syahwat. Lebih lengkapnya berikut yang tercantum dalam kitab Mirqat Shu’ud at-Tashdiq bi Syarh Sullam at-Taufiq: 21:
والمرجع في المشتهات وغيرها إلى العرف على الصحيح. قال الشيخ أبو حامد: التي لاتشتهى من لها أربع سنين، فما دونها. أفاد ذلك الدميري. وقال شيخنا يوسف السنبلاني: فإذا بلغ الولد سبع سنين فإنه ينقض باتفاق ذكرا كان أو أنثى، وإذا بلغ خمس سنين فلا ينقض باتفاق، وأما بلغ ست سنين ففيه خلاف، فقيل ينقض وقيل لا. هذا يرجع إلى طباع الناس حتي الولد الذي بلغ خمس سنين فقط ينقض لمن يشتهيه ولا ينقض لغيره.
“Acuan perempuan mensyahwati dan lainnya (belum mensyahwati) dikembalikan pada pandangan umum manusia (urf) menurut pandangan yang shahih. Sementara Abu Hamid al-Ghazali mengatakan, maksud perempuan yang belum mensyahwati adalah anak usia empat tahun ke bawah. Ad-Damiri menggunakan pendapat Abu Hamid ini.
“Syaikhuna Yusuf as-Sanbalani mengatakan: ‘Ketika anak berusia tujuh tahun, sudah bisa membatalkan pada wudhu, melalui kesepakatan ulama, baik anak laki-laki atau perempuan. Ketika anak usia lima tahun, tidak membatalkan pada wudhu, juga kesepakatan ulama. Adapun anak usia enam tahun, terjadi khilaf ulama; anak yang yang mengatakan membatalkan ada yang mengatakan tidak.
“Ini semua tetap mengacu pada watak masing-masing manusia, sehingga anak usia lima tahun pun bisa membatalkan wudhu bagi orang yang tertarik padanya, dan tidak membatalkan bagi yang tidak tertarik.”
Ini semua adalah pandangan ulama terkait batal dan tidaknya anak kecil saat bersentuhan kulit. Ukurannya memang potensi menarik syahwat. Jika demikian, bagaimana dengan perempuan atau laki-laki yang sudah tua? Terusan dalam kitab al-Manhaj al-Qawim di atas disebutkan:
وذلك لانتفاء مظنة الشهوة حينئذ بخلاف عجوز شوهاء أو شيخ هرم استصحابًا لما كان ولأنهما مظنتها في الجملة إذ لكل ساقطة لاقطة.
“Tidak batal menyentuh anak kecil, karena tidak berpotensi syahwat. Berbeda dengan nenek tua atau laki-laki tua yang pikun, karena memberlakukan hakum yang sudah ada. Terlebih, secara global keduanya masih berpotensi kuat untuk menarik syahwat, karena (ada ungkapan), setiap ada perkara jatuh pasti ada yang memungut.”
Dengan demikian, terkait batal dan tidaknya anak kecil saat bersentuhan kulit semua ulama sepakat bahwa anak yang berpotensi menarik syahwat (yusytaha) dapat membatalkan wudhu’. Hanya saja, perbedaan pada batasan anak seperti apa yang bisa menarik syahwat tersebut. Pendapat shahih, tergantung pada pandangan masyarakat umum (urf), selainnya ada yang membatasi melalui usia dengan fariasi pendapat.
Beberapa pandangan ini muncul karena memang tidak tidak ditemukan batasan resmi, baik dari nash syara’ atau bahasa. Dari itu, pandangan yang menyatakan standar urf berlaku dinilai sebagai pendapat shahih. Hal ini sesuai dengan kaidah: “Jika tidak ditemukan batasan dalam syara’ dan bahasa, maka kembalikan pada urf”. Wallahu a’lam.Aryarrafie@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar